Sabtu, 10 September 2011

Pendarahan Pasca Persalinan


BAB I
PENDAHULUAN

Salah satu masalah penting dalam bidang obstetri dan ginekologi adalah masalah perdarahan. Walaupun angka kematian maternal telah menurun secara dramati dengan adanya pemeriksaan-pemeriksaan dan perawatan kehamilan dan persalinan di rumah sakit dan adanya fasilitas transfusi darah, namun kematian ibu akibat perdarahan masih tetap merupakan faktor utama dalam kematian maternal.
Perdarahan dalam bidang obstetri hampir selalu berakibat fatal bagi ibu maupun janin, terutama jika tindakan pertolongan terlambat dilakukan, atau jika komponennya tidak dapat segera digunakan. Oleh karena itu, tersedianya sarana dan perawatan sarana yang memungkinkan penggunaan darah dengan segera, merupakan kebutuhan mutlak untuk pelayanan obstetri yang layak.
Perdarahan obstetri dapat terjadi setiap saat, baik selama kehamilan, persalinan, maupun masa nifas. Oleh karena itu, setiap perdarahan yang terjadi dalam masa kehamilan, persalinan dan nifas harus dianggap sebagai suatu keadaan akut dan serius, karena dapat membahayakan ibu dan janin. Setiap wanita hamil, dan nifas yang  mengalami perdarahan, harus segera dirawat dan ditentukan penyebabnya, untuk selanjutnya dapat diberi pertolongan dengan tepat.
Diperkirakan ada 14 juta kasus pendarahan dalam kehamilan setiap tahunnya; paling sedikit 128.000 perempuan mengalami pendarahan sampai meninggal. Pendarahan pasca persalinan merupakan pendarahan yang paling banyak menyebabkan kematian ibu. Lebih dari separuh jumlah seluruh kematian ibu terjadi dalam waktu 24 jam setelah melahirkan, sebagian besar karena terlalu banyak mengeluarkan darah. Walaupun seorang perempuan dapat bertahan hidup setelah mengalami pendarahan pasca persalinan, namun ia akan menderita akibat kekurangan darah yang berat (anemia berat) dan mengalami mengalami masalah kesehatan yang berkepanjangan. Oleh sebab itu, diperlukan tndakan yang tepat dan cepat dalam mengatasi pendarahan pasca persalinan.
BAB II
ISI

Pendarahan pasca persalinan (post partum) adalah pendarahan pervaginam 500 ml atau lebih sesudah anak lahir. Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%-60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Pendarahan pasca persalinan dapat  disebabkan oleh atonia uteri, sisa plasenta, retensio plasenta, inversio uteri, laserasi jalan lahir dan gangguan pembekuan darah.

Klasifikasi Klinis
1) Perdarahan Pasca Persalinan Dini (Early Postpartum Haemorrhage, atau Perdarahan Postpartum Primer, atau Perdarahan Pasca Persalinan Segera). Perdarahan pasca persalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama. Penyebab utama perdarahan pasca persalinan primer adalah atonia uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, robekan jalan lahir dan inversio uteri. Terbanyak dalam 2 jam pertama.
2) Perdarahan masa nifas (PPH kasep atau Perdarahan Persalinan Sekunder atau Perdarahan Pasca Persalinan Lambat, atau Late PPH). Perdarahan pascapersalinan sekunder terjadi setelah 24 jam pertama. Perdarahan pasca persalinan sekunder sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.

Gejala Klinis
Gejala klinis berupa pendarahan pervaginam yang terus-menerus setelah bayi lahir. Kehilangan banyak darah tersebut menimbulkan tanda-tanda syok yaitu penderita pucat, tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstrimitas dingin, dan lain-lain. Penderita tanpa disadari dapat kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat bila pendarahan tersebut sedikit dalam waktu yang lama.
Diagnosis
Perdarahan yang langsung terjadi setelah anak lahir tetapi plasenta belum lahir biasanya disebabkan oleh robekan jalan lahir. Perdarahan setelah plasenta lahir, biasanya disebabkan oleh atonia uteri. Atonia uteri dapat diketahui dengan palpasi uterus ; fundus uteri tinggi di atas pusat, uterus lembek, kontraksi uterus tidak baik. Sisa plasenta yang tertinggal dalam kavum uteri dapat diketahui dengan memeriksa plasenta yang lahir apakah lengkap atau tidak kemudian eksplorasi kavum uteri terhadap sisa plasenta, sisa selaput ketuban, atau plasenta suksenturiata (anak plasenta). Eksplorasi kavum uteri dapat juga berguna untuk mengetahui apakan ada robekan rahum. Laserasi (robekan) serviks dan vagina dapat diketahui dengan inspekulo. Diagnosis pendarahan pasca persalinan juga memerlukan pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan Hb, COT (Clot Observation Test), kadar fibrinogen, dan lain-lain.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perdarahan pascapersalinan
1.      Perdarahan pascapersalinan dan usia ibu
Wanita yang melahirkan anak pada usia dibawah 20 tahun atau lebih dari 35 tahun merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Hal ini dikarenakan pada usia dibawah 20 tahun fungsi reproduksi seorang wanita belum berkembang dengan sempurna, sedangkan pada usia diatas 35 tahun fungsi reproduksi seorang wanita sudah mengalami penurunan dibandingkan fungsi reproduksi normal sehingga kemungkinan untuk terjadinya komplikasi pascapersalinan terutama perdarahan akan lebih besar. Perdarahan pascapersalinan yang mengakibatkan kematian maternal pada wanita hamil yang melahirkan pada usia dibawah 20 tahun 2-5 kali lebih tinggi daripada perdarahan pascapersalinan yang terjadi pada usia 20-29 tahun. Perdarahan pascapersalinan meningkat kembali setelah usia 30-35tahun.
2.  Perdarahan pascapersalinan dan gravida
Ibu-ibu yang dengan kehamilan lebih dari 1 kali atau yang termasuk multigravida mempunyai risiko lebih tinggi terhadap terjadinya perdarahan pascapersalinan dibandingkan dengan ibu-ibu yang termasuk golongan primigravida (hamil pertama kali). Hal ini dikarenakan pada multigravida, fungsi reproduksi mengalami penurunan sehingga kemungkinan terjadinya perdarahan pascapersalinan menjadi lebih besar.
3.  Perdarahan pascapersalinan dan paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut perdarahan pascapersalinan yang dapat mengakibatkan kematian maternal. Paritas satu dan paritas tinggi (lebih dari tiga) mempunyai angka kejadian perdarahan pascapersalinan lebih tinggi. Pada paritas yang rendah (paritas satu), ketidaksiapan ibu dalam menghadapi persalinan yang pertama merupakan faktor penyebab ketidakmampuan ibu hamil dalam menangani komplikasi yang terjadi selama kehamilan, persalinan dan nifas.
4.   Perdarahan pascapersalinan dan Antenatal Care
Tujuan umum antenatal care adalah menyiapkan seoptimal mungkin fisik dan mental ibu serta anak selama dalam kehamilan, persalinan dan nifas sehingga angka morbiditas dan mortalitas ibu serta anak dapat diturunkan.
Pemeriksaan antenatal yang baik dan tersedianya fasilitas rujukan bagi kasus risiko tinggi terutama perdarahan yang selalu mungkin terjadi setelah persalinan yang mengakibatkan kematian maternal dapat diturunkan. Hal ini disebabkan karena dengan adanya antenatal care tanda-tanda dini perdarahan yang berlebihan dapat dideteksi dan ditanggulangi dengan cepat.
5.  Perdarahan pascapersalinan dan kadar hemoglobin
Anemia adalah suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan nilai hemoglobin dibawah nilai normal. Dikatakan anemia jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%. Perdarahan pascapersalinan mengakibatkan hilangnya darah sebanyak 500 ml atau lebih, dan jika hal ini terus dibiarkan tanpa adanya penanganan yang tepat dan akurat akan mengakibatkan turunnya kadar hemoglobin dibawah nilai normal.
Komplikasi perdarahan pascapersalinan
Disamping menyebabkan kematian, perdarahan pascapersalinan memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan banyak kelak bisa menyebabkan sindrom Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisisis pars anterior sehingga terjadi insufisiensi pada bagian tersebut. Gejalanya adalah asthenia, hipotensi, anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi alat alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenore dan kehilangan fungsi laktasi.

Penanganan perdarahan pascapersalinan
Penanganan perdarahan pasca persalinan pada prinsipnya adalah hentikan perdarahan, cegah/atasi syok, ganti darah yang hilang dengan diberi infus cairan (larutan garam fisiologis, plasma ekspander, Dextran-L, dan sebagainya), transfusi darah, kalau perlu oksigen. Walaupun demikian, terapi terbaik adalah pencegahan. Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus kasus yang disangka akan terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin, namun sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan “antenatal care” yang baik. Ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan post partum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit. Di rumah sakit, diperiksa kadar fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan bila mungkin tersedia donor darah. Sambil mengawasi persalianan, dipersiapkan keperluan untuk infus dan obat-obatan penguat rahim.
Anemia dalam kehamilan, harus diobati karena perdarahan dalam batas batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah menderita anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami perdarahan post partum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus, dan solutio plasenta.
Dalam kala III, uterus jangan dipijat dan didorong kebawah sebelum plasenta lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah perdarahan pascapersalinan. Sepuluh satuan oksitosin diberikan intramuskular segera setelah anak lahir untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir, hendaknya diberikan 0,2 mg ergometrin, intramuskular. Kadang-kadang pemberian ergometrin setelah bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala menyebabkan plasenta terlepas segera setelah bayi seluruhnya lahir; dengan tekanan pada fundus uteri, plasenta dapat dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari pemberian ergometrin setelah bahu bayi lahir adalah terjadinya jepitan (trapping) terhadap bayi kedua pada persalinan gameli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang harus segera dilakukan, yaitu menghentikan perdarahan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Tetapi apabila plasenta sudah lahir, perlu ditentukan apakah disini dihadapi perdarahan karena atonia uteri atau karena perlukaan jalan lahir.

Atonia Uteri
Atonia uteri merupakan kegagalan miometrium untuk berkontraksi setelah persalinan sehingga uterus dalam keadaan relaksasi penuh, melebar, lembek dan tidak mampu menjalankan fungsi oklusi pembuluh darah. Akibat dari atonia uteri ini adalah terjadinya pendarahan. Perdarahan pada atonia uteri ini berasal dari pembuluh darah yang terbuka pada bekas menempelnya plasenta yang lepas sebagian atau lepas keseluruhan. Miometrium terdiri dari tiga lapisan dan lapisan tengah merupakan bagian yang terpenting dalam hal kontraksi untuk menghentikan pendarahan pasca persalinan. Miometrum lapisan tengah  tersusun sebagai anyaman dan ditembus oeh pembuluh darah. Masing-masing serabut mempunyai dua buah lengkungan sehingga tiap-tiap dua buah serabut kira-kira berbentuk angka delapan. Setelah partus, dengan adanya susunan otot seperti tersebut diatas, jika otot berkontraksi akan menjepit pembuluh darah. Ketidakmampuan miometrium untuk berkontraksi ini akan menyebabkan terjadinya pendarahan pasca persalinan.
Atonia uteri merupakan penyebab tersering dari pendarahan pasca persalinan. Sekitar 50-60% pendarahan pasca persalinan disebabkan oleh atonia uteri.
Faktor-faktor predisposisi atoni uteri antara lain :
-    Grandemultipara
-    Uterus yang terlalu regang (hidramnion, hamil ganda, anak sangat besar (BB > 4000 gram)
-    Kelainan uterus (uterus bicornis, mioma uteri, bekas operasi)
-    Plasenta previa dan solutio plasenta (perdarahan antepartum
-    Partus lama (exhausted mother)
-    Partus precipitatus
-    Hipertensi dalam kehamilan (Gestosis)
-    Infeksi uterus
-    Anemi berat
-    Penggunaan oksitosin yang berlebihan dalam persalinan (induksi partus)
-    Riwayat PPH sebelumnya atau riwayat plasenta manual
-    Pimpinan kala III yang salah, dengan memijit-mijit dan mendorong-dorong uterus sebelum plasenta terlepas
-    IUFD yang sudah lama, penyakit hati, emboli air ketuban (koagulopati)
-    Tindakan operatif dengan anestesi umum yang terlalu dalam.
Penanganan atonia uteri yaitu :
1).    Masase uterus + pemberian utero tonika (infus oksitosin 10 IU s/d 100 IU dalam 500 ml Dextrose 5%, 1 ampul Ergometrin I.V, yang dapat diulang 4 jam kemudian, suntikan prostaglandin.
2).    Kompresi bimanuil
Jika tindakan poin satu tidak memberikan hasil yang diharapkan dalam waktu yang singkat, perlu dilakukan kompresi bimanual pada pada uterus. Tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dan sambil membuat kepalan diletakkan pada forniks anterior vagina. Tangan kanan diletakkan pada perut penderita dengan memegang fundus uteri dengan telapak tangan dan dengan ibu jari di depan serta jari-jari lain dibelakang uterus. Sekarang korpus uteri terpegang dengan antara 2 tangan; tangan kanan melaksanakan massage pada uterus dan sekalian menekannya terhadap tangan kiri.
Kompresi Bimanual
3).    Tampon utero-vaginal secara lege artis, tampon diangkat 24 jam kemudian.
Tindakan ini sekarang oleh banyak dokter tidak dilakukan lagi karena umumnya dengan dengan usaha-usaha tersebut di atas pendarahan yang disebabkan oleh atonia uteri sudah dapat diatasi. Lagi pula dikhawatirkan bahwa pemberian tamponade yang dilakukan dengan teknik yang tidak sempurna tidak menghindarkan pendarahan dalam uterus dibelakang tampon. Tekanan tampon pada dinding uterus menghalangi pengeluaran darah dari sinus-sinus yang terbuka; selain itu tekanan tersebut menimbulkan rangsangan pada miometrium untuk berkontraksi.
4).    Tindakan operatif
Tindakan operatif dilakukan jika upaya-upaya diatas tidak dapat menhentikan pendarahan. Tindakan opertif yang dilakukan adalah :
a) Ligasi arteri uterina
b) Ligasi arteri hipogastrika
Tindakan ligasi arteri uterina dan arteri hipogastrika dilakukan untuk yang masih menginginkan anak. Tindakan yang bersifat sementara untuk mengurangi perdarahan menunggu tindakan operatif dapat dilakukan metode Henkel yaitu dengan menjepit cabang arteri uterina melalui vagina, kiri dan kanan atau kompresi aorta abdominalis.
c) histerektomi

Laserasi Jalan Lahir
Robekan jalan lahir merupakan penyebab kedua tersering dari perdarahan pasca persalinan. Robekan dapat terjadi bersamaan dengan atonia uteri. Perdarahan pasca persalinan dengan uterus yang berkontraksi baik biasanya disebabkan oleh robekan  serviks atau vagina. Setelah persalinan harus selalu dilakukan pemeriksaan vulva dan perineum. Pemeriksaan vagina dan serviks dengan spekulum juga perlu dilakukan setelah persalinan.
a. Robekan vulva
Sebagai akibat persalinan, terutama pada seorang primipara, bisa timbul luka pada vulva di sekitar introitus vagina yang biasanya tidak dalam akan tetapi kadang-kadang bisa timbul perdarahan banyak, khususnya pada luka dekat klitoris.
b.Robekan perineum
Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan pertama dan tidak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar dari sirkumferensia suboksipitobregmatika atau anak dilahirkan dengan pembedahan vaginal. Tingkatan robekan pada perineum:
§  Tingkat 1: hanya kulit perineum dan mukosa vagina yang robek
§  Tingkat 2: dinding belakang vagina dan jaringan ikat yang menghubungkan otot-otot diafragma urogenitalis pada garis tengah terluka.
§  Tingkat 3: robekan total m. Spintcher ani externus dan kadang-kadang dinding depan rektum.
Pada persalinan yang sulit, dapat pula terjadi kerusakan dan peregangan m. puborectalis kanan dan kiri serta hubungannya di garis tengah. Kejadian ini melemahkan diafragma pelvis dan menimbulkan predisposisi untuk terjadinya prolapsus uteri.
c. Perlukaan vagina
Perlukaan vagina yang tidak berhubungan dengan luka perineum jarang dijumpai. Kadang ditemukan setelah persalinan biasa, tetapi lebih sering terjadi sebagai akibat ekstraksi dengan cunam, terlebih apabila kepala janin harus diputar. Robekan terdapat pada dinding lateral dan baru terlihat pada pemeriksaan spekulum. Robekan atas vagina terjadi sebagai akibat menjalarnya robekan serviks. Apabila ligamentum latum terbuka dan cabang-cabang arteri uterina terputus, dapat timbul perdarahan yang banyak. Apabila perdarahan tidak bisa diatasi, dilakukan laparotomi dan pembukaan ligamentum latum. Jika tidak berhasil maka dilakukan pengikatan arteri hipogastika.
§  Kolpaporeksis
Adalah robekan melintang atau miring pada bagian atas vagina. Hal ini terjadi apabila pada persalinan yang disproporsi sefalopelvik terdapat regangan segmen bawah uterus dengan serviks uteri tidak terjepit antara kepala janin dengan tulang panggul, sehingga tarikan ke atas langsung ditampung oleh vagina. Jika tarikan ini melampaui kekuatan jaringan, terjadi robekan vagina pada batas antara bagian teratas dengan bagian yang lebih bawah dan yang terfiksasi pada jaringan sekitarnya. Kolpaporeksis juga bisa timbul apabila pada tindakan per vaginam dengan memasukkan tangan penolong ke dalam uterus terjadi kesalahan, dimana fundus uteri tidak ditahan oleh tangan luar untuk mencegah uterus naik ke atas.
§  Fistula
Fistula akibat pembedahan vaginal makin lama makin jarang karena tindakan vaginal yang sulit untuk melahirkan anak banyak diganti dengan seksio secarea. Fistula dapat terjadi mendadak karena perlukaan pada vagina yang menembus kandung kemih atau rektum, misalnya oleh perforator atau alat untuk dekapitasi, atau karena robekan serviks menjalar ke tempat menjalar ke tempat-tempat tersebut. Jika kandung kemih luka, urin segera keluar melalui vagina. Fistula dapat berupa fistula vesikovaginalis atau rektovaginalis.
d.Robekan serviks
Persalinan selalu mengakibatkan robekan serviks, sehingga serviks seorang multipara berbeda dari yang belum pernah melahirkan pervaginam. Robekan serviks yang luas menimbulkan perdarahan dan dapat menjalar ke segmen bawah uterus. Apabila terjadi perdarahan yang tidak berhenti meskipun plasenta sudah lahir lengkap dan uterus sudah berkontraksi baik, perlu dipikirkan perlukaan jalan lahir, khususnya robekan serviks uteri.
Apabila ada robekan, serviks perlu ditarik keluar dengan beberapa cunam ovum, supaya batas antara robekan dapat dilihat dengan baik. Apabila serviks kaku dan his kuat, serviks uteri dapat mengalami tekanan kuat oleh kepala janin, sedangkan pembukaan tidak maju. Akibat tekanan kuat dan lama ialah pelepasan sebagian serviks atau pelepasan serviks secara sirkuler. Pelepasan ini dapat dihindarkan dengan seksio secarea jika diketahui bahwa ada distosia servikalis.
Apabila sudah terjadi pelepasan serviks, biasanya tidak dibutuhkan pengobatan, hanya jika ada perdarahan, tempat perdarahan di lanjut. Jika bagian serviks yang terlepas masih berhubungan dengan jaringan lain, hubungan ini sebaiknya diputuskan.

Retensio Plasenta
Adalah keadaan dimana plasenta belum lahir dalam waktu 1 jam setelah bayi lahir.  Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
1.      Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring.
2.      Kelainan dari placenta dan sifat perlekatan placenta pada uterus.
3.      Kesalahan manajemen kala tiga persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktu dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.
Sebab-sebab terjadinya retensio plasenta ini adalah:
1.  Plasenta belum terlepas dari dinding uterus karena tumbuh melekat lebih dalam. Perdarahan tidak akan terjadi jika plasenta belum lepas sama sekali dan akan terjadi perdarahan jika lepas sebagian. Hal ini merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Menurut tingkat perlekatannya dibagi menjadi:
a.       Plasenta adhesiva, melekat pada endometrium, tidak sampai membran basal.
b.      Plasenta inkreta, vili khorialis tumbuh lebih dalam dan menembus desidua sampai ke miometrium.
c.       Plasenta akreta, menembus lebih dalam ke miometrium tetapi belum menembus serosa.
d.      Plasenta perkreta, menembus sampai serosa atau peritoneum dinding rahim.
2.      Plasenta sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (plasenta inkarserata)
Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah fundus naik dimana pada perabaan uterus terasa bulat dan keras, bagian tali pusat yang berada di luar lebih panjang dan terjadi perdarahan sekonyong-konyong. Cara memastikan lepasnya plasenta:
1.      Kustner
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri menekan di atas simfisis. Bila tali pusat tak tertarik masuk lagi berarti tali pusat telah lepas.
2.      Strassman
Tangan kanan menegangkan tali pusat, tangan kiri mengetuk-ngetuk fundus. Jika terasa getaran pada tali pusat, berarti tali pusat belum lepas.
3.      Klein
Ibu disuruh mengejan. Bila plasenta telah lepas, tali pusat yang berada diluar bertambah panjang dan tidak masuk lagi ketika ibu berhenti mengejan.

Apabila plasenta belum lahir ½ jam-1 jam setelah bayi lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Tindakan yang dapat dikerjakan adalah secara langsung dengan perasat Crede dan Brant Andrew dan secara langsung adalah dengan manual plasenta.
Sisa Plasenta
Tertinggalnya sebagian plasenta (sisa plasenta) merupakan penyebab umum terjadinya pendarahan lanjut dalam masa nifas (pendarahan pasca persalinan sekunder). Pendarahan post partum yang terjadi segera jarang disebabkan oleh retensi potongan-potongan kecil plasenta. Inspeksi plasenta segera setelah persalinan bayi harus menjadi tindakan rutin. Jika ada bagian plasenta yang hilang, uterus harus dieksplorasi dan potongan plasenta dikeluarkan.
Sewaktu suatu bagian dari plasenta (satu atau lebih lobus) tertinggal, maka uterus tidak dapat berkontraksi secara efektif dan keadaan ini dapat menimbulkan perdarahan. Tetapi mungkin saja pada beberapa keadaan tidak ada perdarahan dengan sisa plasenta.

Inversio Uteri
Inversio uteri dapat menyebabkan pendarahan pasca persalinan segera, akan tetapi kasus inversio uteri ini jarang sekali ditemukan. Pada inversio uteri bagian atas uterus memasuki kavum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol ke dalam kavum uteri. Inversio uteri terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar.
Inversio uteri bisa terjadi spontan atau sebagai akibat tindakan. Pada wanita dengan atonia uteri kenaikan tekanan intraabdominal dengan mendadak karena batuk atau meneran, dapat menyebabkan masuknya fundus ke dalam kavum uteri yang merupakan permulaan inversio uteri. Tindakan yang dapat menyebabkan inversio uteri adalah perasat Crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus.
Pada penderita dengan syok, perdarahan, dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai, pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lnak di atas serviks atau dalam vagina sehingga diagnosis inversio uteri dapat dibuat. Pada mioma uteri submukosum yang lahir dalam vagina terdapat pula tumor yang serupa, akan tetapi fundus uteri ditemukan dalam bentuk dan pada tempat biasa, sedang konsistensi mioma lebih keras daripada korpus uteri setelah persalinan. Selanjutnya jarang sekali mioma submukosum ditemukan pada persalinan cukup bulan atau hampir cukup bulan.
Walaupun inversio uteri kadang-kadang bisa terjadi tanpa gejala dengan penderita tetap dalam keadaan baik, namun umumnya kelainan tersebut menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi (15-70%). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.

Kelainan pembekuan darah
Kegagalan pembekuan darah atau koagulopati dapat menjadi penyebab dan akibat perdarahan yang hebat. Gambaran klinisnya bervariasi mulai dari perdarahan hebat dengan atau tanpa komplikasi trombosis, sampai keadaan klinis yang stabil yang hanya terdeteksi oleh tes laboratorium. Setiap kelainan pembekuan, baik yang idiopatis maupun yang diperoleh, dapat merupakan penyulit yang berbahaya bagi kehamilan dan persalinan, seperti pada defisiensi faktor pembekuan, pembawa faktor hemofilik A (carrier), trombopatia, penyakit Von Willebrand, leukemia, trombopenia dan purpura trombositopenia. Dari semua itu yang terpenting dalam bidang obstetri dan ginekologi ialah purpura trombositopenik dan hipofibrinogenemia.
a.       Purpura trombositopenik
Penyakit ini dapat bersifat idiopatis dan sekunder. Yang terakhir disebabkan oleh keracunan obat-obat atau racun lainnya dan dapat pula menyertai anemia aplastik, anemia hemolitik yang diperoleh, eklampsia, hipofibrinogenemia karena solutio plasenta, infeksi, alergi dan radiasi.
b.      Hipofibrinogenemia
Adalah turunnya kadar fibrinogen dalam darah sampai melampaui batas tertentu, yakni 100 mg%, yang lazim disebut ambang bahaya (critical level). Dalam kehamilan kadar berbagai faktor pembekuan meningkat, termasuk kadar fibrinogen. Kadar fibribogen normal pada pria dan wanita rata-rata 300mg% (berkisar 200-400mg%), dan pada wanita hamil menjadi 450mg% (berkisar antara 300-600mg%).

BAB III
PENUTUP

Perdarahan pasca persalinan adalah suatu kejadian mendadak dan tidak dapat diramalkan yang merupakan penyebab kematian ibu di seluruh dunia. Sebab yang palig umum dari pendarahan pasca persalinan dini yang berat (yang terjadi dalam 24 jam setelah melahirkan) adalah atonia uteri (kegagalan rahim untuk berkontraksi sebagaimana mestinya setelah melahirkan. Plasenta yang tertinggal, vagina atau mulut rahim yang terkoyak dan uterus yang turun atau inversi, juga merupakan sebab dari pendarahan pasca persalinan. Pendarahan pasca persalinan lanjut (terjadi lebih dari 24 jam setelah kelahiran bayi) sering diakibatkan oleh infeksi, penyusutan rahim yang tidak baik, atau sisa plasenta yang tertinggal.
Saat-saat setelah kelahiran bayi dan jam-jam pertama pasca persalinan adalah saat penting untuk pencegahan, diagnosa, dan penanganan pendarahan. Dibandingkan dengan resiko-resiko lain pada ibu seperti infeksi, maka kasus pendarahan dengan cepat dapat mengancam jiwa. Seorang ibu dengan pendarahan hebat akan cepat meninggal jika tidak mendapat perawatan medis yang sesuai, termasuk pemberian obat-obatan, prosedur klinis sederhana, transfusi darah dan atau operasi.
Di daerah atau wilayah dengan akses terbatas memperoleh perawatan petugas medis, transportasi dan pelayanan gawat darurat, maka keterlambatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan menjadi hal yang biasa, sehingga resiko kematian karena pendarahan pasca persalinan menjadi tinggi. Semua ibu hamil harus didorong untuk mempersiapkan kehamilan dan kesiagaan terhadap komplikasi, dan agar melahirkan dengan bantuan seorang dokter atau bidan, yang dapat memberikan perawatan pencegahan pendarahan pasca persalinan. Keluarga dan masyarakat harus mengetahui tanda-tanda bahaya utama, termasuk pendarahan masa kehamilan. Semua ibu harus dipanatau secara dekat setelah melahirkan terhadap tanda-tanda pendarahan tidak normal, dan para pemberi perawatan harus dapat dan mampu menjamin akses ke tindakan penyelamatan hidup bilamana diperlukan.


DAFTAR PUSTAKA


Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri William Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995.

Supono. Ilmu Kebidanan Bab Fisiologi. Palembang: Bagian Departemen Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya, 2004.

Khoman JS. Pendarahan Hamil Tua dan Pendarahan Post Partum. Cermin Dunia Kedokteran, Edisi Khusus No. 80, 1992 : 60-63.

Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan Edisi Ketiga, Eds: Hanifa Wiknjosastro dkk. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, 2005

Program Appropiate Technology in Health (PATH). Mencegah Perdarahan Pasca Persalinan: Menangani Persalinan Kala Tiga. Available from URL:HYPERLINK http://www.path.org/files/Indonesian_19-3.pdf























                                                                                    




DAFTAR ISI

Halaman


KATA PENGANTAR..................................................................................            i

DAFTAR ISI.................................................................................................           ii

BAB I          PENDAHULUAN...................................................................           1

BAB II         ISI.............................................................................................           2

BAB III       PENUTUP................................................................................         15

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................         16





















                                                                               







 




DAFTAR ISI

Halaman


KATA PENGANTAR................................................................................            i
DAFTAR ISI................................................................................................           ii
BAB I          KONSEP DASAR...................................................................           1
A.    Pengertian...........................................................................           1
B.     Etiologi...............................................................................           1
C.     Manifestasi Klinis...............................................................           2
D.    Patofisiologi........................................................................           2
E.     Pemeriksaan Penunjang......................................................           3
F.      Penatalaksanaan..................................................................           3
G.    Komplikasi..........................................................................           5
H.    Fokus Intervensi.................................................................           5

BAB II         ASUHAN KEPERAWATAN ................................................           9
A.    Pengkajian Awal.................................................................           9
B.     Pengkajian Dasar................................................................           9
C.     Analisa Data.......................................................................         12
D.    Prioritas Diagnosa Keperawatan.........................................         12
E.     Intervensi............................................................................         12
F.      Implementasi.......................................................................         14
G.    Evaluasi...............................................................................         14

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................         16





ii
 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar